Ini adalah tulisan pertama saya di bawah kategori Retarditorial™. Kategori ini saya maksudkan untuk menampung segala kritik cerewet saya tentang kebodohan-kebodohan dalam penggunaan bahasa – Indonesia maupun Inggris – di kota saya. Sebenarnya sasaran utama saya adalah artikel-artikel dalam koran lokal, spanduk-spanduk, papan iklan, maupun segala jenis media promosi dan informasi sejenis itu.
Tapi, di malam yang sama pada saat tulisan ini dibuat, saya mendapat bahan dari pacar saya yang walaupun tidak memenuhi kriteria diatas namun amat sangat perlu untuk
dibakar diketawain rame-rame dikritik. Sekedar info penjelas, pacar saya ini, yang cuma guru honor, punya jabatan sebagai sekretaris
MGMP Bahasa Inggris untuk wilayah kota. MGMP ini pengertian instannya semacam asosiasi guru-guru bentukan Dinas Pendidikan setempat yang bertugas mengadakan pertemuan rutin mingguan dalam rangka penyegaran, sinkronisasi dan update terhadap materi, kurikulum maupun kemampuan ajar guru-guru per mata pelajaran. Dalam 2 pertemuan terakhir ceritanya mereka sedang sibuk menyusun soal ujian semester SMP (rupanya ini tugas tambahan dalam rangka membebas-tugaskan orang-orang Dinas). Guru-guru Bahasa Inggris SMP yang masuk dalam keanggotaan MGMP dibagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing bertugas urun soal.Nah, alkisah saya ditunjukkan 2 carik kertas berisi hasil kerja dari seorang guru senior berinisial N. Sekali lirik, saya langsung tertawa
tersedu-sedu™.

Perhatikan bagian yang di-kurva dilingkar merah

Hampir semua guru-guru yang mengajar di kota kami berasal dari Universitas saya.
Ini karena memang lulusan kami tidak bakal laku di tempat lain. Ibu N ini pun tidak terkecuali. Memang, seingat saya ybs termasuk golongan
Karyasiswa yang kemampuannya di bawah rata-rata; namun sungguh, saya tidak mengira kalau bodohnya sampai sedemikian.
Dalam kegiatan pengkonsepan soal itu, ibu N mendapat tugas membuat soal berbasis ‘
Deducting Particular Information from a given Text‘, yang mana teks dimaksud berbentuk ‘Kartu Identitas’ atau ‘ID Card’. Apa dinyana, bukannya menulis sesuatu seperti ini :
Name:
Occupation:
Address:
Age:
Date of Birth:
Ibu guru PNS yang seyogyanya “digugu dan ditiru” ini malah menghasilkan karya seperti yang bisa dilihat sendiri pada gambar pertama (kurva merah) dan kedua.
Saya sendiri sudah melihat hasil kerja guru-guru lain dalam tim tersebut, tapi walau ada beberapa kesalahan kecil, tidak ada yang menandingi kedahsyatan ibu N ini.
Tim MGMP di kota kami ini tidaklah terdiri dari orang-orang bodoh, banyak dari mereka yang benar-benar manusia pilihan. Semuanya pun tahu persis kualitas ibu N, namun dia tetap saja dipelihara di dalam tim, atas nama senioritas dan status PNS.
Seorang guru, yang bersertifikasi dan berijin, untuk mewariskan kebodohannya. Selamat datang, generasi bodoh.
Like this:
Like Loading...
Related
*weeps for the future of this nation* 😦
Lha, kok bisa lolos sertifikasi kalo sampe segitu parahnya? 😯
ID-cardnya versi guru itu keren.
Freudian slip?
Wkkkkk………
😆 😆 😆
*tidak bisa dikatakan dengan kata2*
@Catshade
Lha wong disini sertifikasi itu bukan ‘program’, tapi ‘proyek’.
Sasarannya cuma satu: SEMUA guru HARUS disertifikasi. Jadi prosesnya pun gak beda jauh dengan proses UAN : Gak lolos seleksi pertama, ada seleksi susulan dengan saringan baru yang dijamin sebocor mungkin.
Segala fitur Dinas Pendidikan Kota saya emang penuh kebodohan, yang bersumber pada satu kebodohan induk : Kepala Dinasnya istri pak Walikota sendiri. Keduanya sudah bercokol 2 periode.
DPRD-nya? itu juga sudah dikondisiken.
@dnial
😆
Lot simpler than that:
Plain stupid.
@jensen
Tampaknya kita punya Grammar Nazi sekarang. 😀
@catshade
Do you know that we now have a new English daily? It’s called The Jakarta Globe. It looks better than the incumbent, The Jakarta Post. It’s a lot more colorful. People like you will love it. I believe there will be more people reading English dailies in years to come in Indonesia, though newspaper readership has been globally declining.
But, hey, wait a minute, why English? Why not Hebrew, or Aramaic, or Arabic! What if God doesn’t speak English!?
Ya, dan sayangnya kita semua ((?)*buktinya gak ada yang menindak kejahatan kelas kakap ini, pembodohan masal, dan kita hanya bisa mengunjingkannya di blog ini) masih juga mempertahankan guru yang sedemikiannya, dan inilah Indonesia, Bung! Fakta, data telah ada, tapi keberanian tuk melawan itulah yang gak tau sedang ke(gi)mana?
.
Atau mungkin masih saru menindak guru?
* , oya, salam kenal deh..
.
maap kalau ada kesan uring-uringan, *maunya sih kesan pertama menggoda
Senioritas…I hate it. Showing respect to elderly people is necessary, but seniority is another thing.
Fritzter for Kepala Dinas Pendidikan! 😀
@gentole
Kedengarannya cukup lucu, tapi maap gak paham maksudnya 😆 .
The Globe ya? Kereeeen.
Tapi untuk orang Jayapura, the post aja masih udik, boro-boro yang ini 😆 . Disini kayaknya, selain di kantor2 international NGOs, the post malah asli cuman bisa ditemui di perpustakaan kampus saya saja 🙄 .
I don’t think He has to. He uses telepathy, as I understand it 🙂 .
@peristiwa
.
Slamat datang. Makasih sudah mampir
Jadi kalo kita ngomongin PNS (yang saya tau disini lho, entah kalo di kota2 lain), tag ‘kualitas’ itu sama tidak relevannya dengan tag-tag seperti ‘natural selection’, ‘transparan’, ‘jujur’, dan semacamnya.
Entah atas nama semangat gotong-royong Pancasila atau apa, PNS cenderung punya mindset ‘we’re all in this together. We’re all the same, you and me. NO ONE IS BETTER THAN ANYONE’.
Ini tentunya hasil cuci otak Orba yang sampai sekarang masih susah dilunturkan. PNS itu harus bersatu – harus pilih Golkar semua, jadi tidak boleh ada yang merasa lebih baik dari yang lain – kecuali atasan. Atasan itu orang-orang pilihan yang penentuannya bersumber dari penerawangan agung sang putra terbaik bangsa. Jadi tidak boleh diragukan sama sekali.
@lambrtz
😆
.
Sebenarnya sih lebih milih jadi kepala KPK
selamat generasi bodoh ? serem amat ya..
kira- kira kenapa ya ibu N kok bisa lolos menjadi guru dengan kualitas seperti itu?
bu N perlu banyak belajar lagi. Karena sudah menjadi guru, ya jadi guru berarti beliau bukan hanya menurunkan ilmunya, tapi juga harus belajar lagi. Belajar dulu, lalu menularkannya pada murid -muridnya. Blm terlambat.
saya rada heran membaca “karna lulusan universitas kami tidak laku ditempat lain”, pesimis sekali. Emg bapak ini kuliah dimana? 😕
ah ya, salam kenal.
Gramernya ngalorngidul tuh 🙂
@eMina
Begitu 😎 .
Lebih tepatnya “lolos menjadi PNS dengan kualitas seperti itu. Ya dengan cara nyogok lah 🙂 .
Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua.
. Belum nikah juga
.
Walah kok dipanggil ‘bapak’ 😯 .
Saya belum 30 kok
@Mas koko
Namanya saja orang tersesat 😆 .
waduh ngeliat hasil kerja guru itu, sepertinya saya harus ngakak ngesot2 neeh. wakakakakakak 😆
sama halnya di sorong. guru bahasa inggris yang saya akui cuman dua, meskipun salah satunya papa saya sih 😀
duh kebayang gak sih, masuk kelas nemu guru yang cuman yaak baca paragraf, kerjakan soal, bosan banget. tapi… di jayapura tentu ada guru2 yang kompeten juga kan?
Hmmm? Ada pasti. Siapa ya…..
Oh ya.
Saya tuh 😆 .
owgh…. grammar nazi
*menjura*
bener-bener menyedihkan sekali kalau kualitas gurunya seperti itu….
MGMP SMP kah?? bu N dari SMP mana? parah ..
Hei selamat datang. 😆
Ah ko pasti tau dia. Pokoke karyasiswa manado paling jelek you can find. That’s the one. SMP Diaspora.
dia mah amit-amit bisa lulus saja sudah pasti karna ada celestial back up koq
Lha? celestial? ketinggian tuh. Financial lebih masuk akal 😆 .